Sabtu, 14 November 2009

Catatan Kecil



Peluncuran Kumpulan Cerpen LOBAKAN
“Kesenyapan Gemuruh Bali’ 65”


LUKA PERADABAN YANG DIPELIHARA
Oleh: dharma santika putra
Email: lubangkunci_bali@yahoo.com
BLOG: gusds.blogspot.com


Pengantar
Sebelum saya menyampaikan sebuah “Catatan Kecil” atas keberadaan dan peluncuran Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN dengan Pengantar Oleh: I Gusti Agung Ayu Ratih, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan:
1. Sebenarnya saya sangat tidak tertarik dengan acara seperti ini. Karena bagi saya, keberadaan sebuah karya sastra, tidaklah harus lewat sebuah ritus kebudayaan seperti apa yang dilakukan hari ini. Karena bagi saya, sebuah karya sastra ketika dan setelah diluncurkan, maka dia akan menjadi hak absolut dari publik pembacanya untuk mengapresiasikannya.
2. Didalam membaca Kumpulan Cerpen LOBAKA ini, saya melakukan semacam kesalahan, yakni dengan mengabaikan untuk terlebih dahulu membaca Pengantar Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKA yang ditulis oleh Ibu I Gusti Agung Ayu Ratih.
Rupanya, kekeliruan manusiawi (dengan mengabaikan untuk membaca pengantar buku-pen) merupakan salah satu penyebab kenapa saya kurang tertarik untuk menghadiri acara seperti ini. Tetapi setelah saya membaca pengantar dari Buku Kumpulan Cerpen LOBAKA ini, tiba-tiba keputusan untuk tidak menghadiri acara ini menjadi berubah, dan saya etikadkan untuk hadir. Tentu dengan sepirit yang lain, yakni ingin berbagi cerita atas sebuah nilai yang selama ini selalu dan senantiasa menjadi samar-samar dan selalu berakhir pada sebuah tanda tanya besar yang penuh kesangsian. Karena bagi saya, apa yang hari ini dilakukan adalah sebuah sikap dalam rangka Memelihara Luka Peradaban. Yang menurut hemat saya, hal seperti ini harus dihentikan. Hal ini menjadi penting, kalau kita sebagai sebuah bangunan peradaban negara-bangsa sepakat untuk melakukan rekonsuliasi secara iklas !.
3. Membaca pengantar dalam Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN, saya merasa seperti membaca buku-buku agama yang kini banyak diterbit kan dan diperjual belikan secara umum belakangan ini. Dimana yang ditawarkan tidak lebih dari penafsiran-penafsiran atas keberadaan diri sebagai sumber kebenaran. Bahkan tidak sedikit yang kemudian terperangkap dengan mengumbar emosi dan dendam sebagai bagian dari ritus kamusiaan mereka.
Demikian juga dengan acara-acara sejenis ini yang sering diselenggarakan. Akhirnya hanya menjadi semacam MONOLOG. Dimana kebenaran dan penafsiran akan kebenaran menjadi harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar. Dimana yang satu menyalahkan yang lain, tanpa memberi ruang untuk menjawab bagi tertuduh. Sehingga yang terjadi adalah propaganda kamanusiaan yang memuakkan. Dan tawaran rekonsiliasi yang semu.

Atas 4 (empat) catatan diatas, saya mencoba untuk memahami, dan kemudian berbagai cerita akan sesuatu yang bagi saya lebih tepat disebut sebagai “SEJARAH HITAM”, dan sejatinya, setiap bangunan peradaban negara-bangsa memiliki sejarah hitamnya sendiri-sendiri. Karena seperti sebuah ungkapan, Sejarah Selalu Menjadi Milik Para Pemenang, dan bagi para pecundang, harus siap dengan pukulan kemalangan nasibnya.

Teks dan Kontek:
Secara tektual, ke-22 Cerita Pendek yang termuat didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini semuanya enak untuk dinikmati. Dan saya tidak ingin terperangkap untuk membicarakan demensi susastranya. Karena bagaimanapun juga, jika sebuah karya sastra telah dipublikasikan, maka dia akan menjadi hak absolut bagi masyarakat pembacanya. Artinya, “ya tidak ada diskusi disini”.

Tetapi bagaimanakah jika ditilik secara kontektual dan aktual ?. Jujur harus saya sampaikan disini, jika dihubungkan dengan Pengantar yang ditulis oleh Ibu I Gusti Agung Ayu Ratih, sebenarnya banyak hal yang harus didiskusikan atas pengantar itu. Karena secara kontektual (di Jembrana-Bali-pen), apa yang sering istilahkan sebagai manipulasi atas kenyataan politik saat itu (Tahun 1965) tidaklah seutuhnya benar. Hal ini dapat kita temukan dari cerita para pelaku sejarah saat itu. Yang menceritakan bahwa memang ada prilaku budaya politik yang tidak terpuji dari pada kader Partai Komunis Indonesia yang kemudian mengundang reaksi dari penganut ideologi politik lainnya.

Tetapi itu masa lalu !. Yang lebih menyedihkan dari kenyataan sejarah hitam itu, adalah tetap terpeliharanya dendam kusumat dari para korban dan juga keturunannya yang diarahkan kepada sesama warga masyarakat sipil, yang sejatinya mereka sebenarnya sama-sama menjadi korban. Korban dari sebuah kenyataan sejarah hitam atas sebuah bangunan peradaban negara-bangsa yang bernama Indonesia.

Hal ini dapat dirasakan kalau kita bertemu dengan para korban atau keturunannya. Bagaimana kebencian menjadi sesuatu yang utuh, dan dendam menjadi sesuatu yang harus ditumpahkan kepada mereka-mereka yang dianggap musuh. Kalau sudah demikian, lantas dari mana kita harus memulai apa yang disebut sebagai rekonsiliasi itu ?.

Apakah cukup hanya lewat sebuah tawaran berupa penerbitan kumpulan karya sastra seperti Kompulan Cerita Pendek LOBAKAN ini ?. Kalau memang demikian adanya, maka Kumpulan Cerpen LOBAKAN ini menjadi sesuatu yang sarat beban. Apalagi jika berangkat dari apa yang dituliskan didalam pengantar atas Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini.


Gagal
Sebelum masuk lebih jauh pada karya-karya cerita pendek yang ada didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini, saya ingin mengajak hadirin untuk mengutip beberapa bait-bait puisi dari Bapak Sutardji Calzium Bachri yang rasa-rasanya kok lebih pas untuk dipakai dasar pijak atas sebuah tawaran yang disebut sebagai rekonsiliasi peradaban akibat luka sejarah hitam ditahun 1965;

…….daging kita satu arwah kita satu
Walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
(Sajak Satu/SCB)

Sekali lagi, ke 22 cerita pendek didalam Kumpulan Cerpen LOBAKAN amat sangat enak untuk dibaca, dan dinikmati. Tetapi hanya sebatas itu. Apalagi jika dihubungkan dengan kenyataan sosial yang ada dan terjadi saat itu, dan dampaknya masih terasakan hingga kini. Disana tidak kita temukan ruang-ruang kontemplasi atau perenungan bagi pembaca, karena cerita pendek yang ada itu lebih berhenti pada sebuah DONGENG. Kenapa saya katakan demikian, karena didalam menikmati cerita pendek didalam kumpulan LOBAKAN itu saya ingin tetap konsisten pada sebuah pandangan yang kini banyak danut oleh para “korban”, bahwa apa yang kita pahami dari Sejarah Hitam di Tahun 1965 itu hanyalah manipulasi demi manipulasi oleh para pemenang yang kemudian menjadi penguasa.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin kita membangun struktur cerita pendek dari tumpukan kebohongan demi kebohongan. Apalagi jika dihubungkan dengan pengantar dari kupulan cerita pendek LOBAKAN yang berjudul, Lobakan Sebagai Pelita Jalan Sejarah. Dan juga catatan kecilnya yang cukup menarik, “Kesenyapan Gemuruh Bali’65” . Atau jangan-jangan Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini memang diidekan untuk memperpanjang kebohongan demi kebohongan yang sudah ada dan menjadi semacam penyakit genetik yang menahun bagi bangsa ini?.

Bahkan didalam sebuah diskusi kecil dikampung, Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini tidak ubahnya dari prilaku orang-orang yang dengan bangga menunjukkan nganga luka ditubuhnya, untuk mendapatkan belas kasihan, dan simpati, tetapi tidak terasa nyeri dan pedihnya. Sehingga kalau nganga luka itu secara terus menerus dipertontonkan tanpa proses penyembuhan, maka dia akan menjadi busuk, dan mengudang rasa jijik dan memuakkan!.

Pesan LOBAKAN yang diharapkan sebagai juru bicara kemanusiaan, atau menjadi pelita jalan sejarah sebenarnya telah menjadi gagal. Sebuah kegagalan bukan disebabkan lantaran secara apresiasi cerita pendek yang terangkum didalamnya tidak baik, tetapi gagal lantaran beratnya beban yang harus dipikulnya, didalam merbut lembar-lembar sejarah kamanusiaan di Indonesia, bahkan mungkin juga dunia.

Tentu akan lain jadinya, jika Kumpulan Cerpen LOBAKAN ini memang dihadiran untuk sebuah dialog sastrawi, sementara pesan kemanusiaan, dan pembasuhan sejarah khususnya sejarah hitam 1965 menjadi bagian dari ekses atas kelahiran karya-karya sastra cerita pendek itu sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh Bapak Sitor Situmorang atau Pramudya Ananta Toer, tanpa beban sejarah masa silam yang pekat, toh akhirnya karya-karyanya justru dimaknai sebagai Pelita Jalan Sejarah kelam itu sendiri.

Belum lagi jika dihubungkan dengan kenyataan sejarah kekinian, dimana para generasi muda lebih memahami komunis atau PKI hanya sebatas “joke” sosial didalam pergaulan mereka. Sehingga jika dicermati sebenarnya telah terjadi pergeseran-pergeseran atas nilai itu sendiri. Kalau sebelumnya komunis atau PKI dipandang sebagai sebuah ideologi politik, tetapi oleh kaum muda sekarang PKI atau Komunis diterjemahkan sebagai merek sosial atas sebuah prilaku. Sehinga lehirlah ungkapan pergaulan, “PKI Cai”, bagi anak-anak yang bandel. Atau “Diam-Diam Soviet”, bagi anak-anak yang banyak akal.

Kontektualitas sejarah masa kini atau kekinian yang merupakan akibat dari “luka sejarah hitam” di era 1965 itu, didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN menjadi sesuatu yang luput, atau sengaja tidak disentuh untuk menjaga sebuah wacana yang ingin direbut didalam ruang publik yang lebih luas.

Penutup
Sebenarnya masih banyak hal yang harus didialogkan, sehingga kita sampai pada sebuah muara insaniah kita sebagai sebuah bangunan peradaban negara-bangsa, seperti kutipan bait-bait puisi Sutardji Calzoum Bachri diatas. Pertanyaannya, mampukah kita membangun sebuah dialog, untuk saling bertegur sapa tanpa beban dendam atas sebuah masa silam ?. Karena sejatinya, kita semua adalah korban. Karban dari sesuatu yang entah, yang bagi saya adalah HANTU !.

Terima Kasih.







Selengkapnya...

Minggu, 08 November 2009

Apresisasi

Membangun Dialog Timur-Barat
JEGOG JAZZ

Oleh: dharma santika putra
Email: lubangkunci_bali@yahoo.com
BLOG; gusds.blogspot.com

PEMAHBAH
Mantan Dirjen Kebudayaan Ibu Edi Sedyowati letika menyaksikan anak-anak dari sekolah menengah pertama negara memainkan “seni tabuh” JEGOG menyatakan penghargaan dan apresiasinya yang tinggi terhadap Seni Tabuh JEGOG sebagai satu-satunya kesenian musik bambu (ensambel bambu menurut istilah beliau ketika itu) sebagai satu-satunya “ensambel bambu tradisional” yang masih terjaga keberadaannya diatas dunia ini. Demikian juga dengan apresiasi yang disampaikan oleh Musikolog Oto Sidarta ketika melakukan study tentang musik bambu (Jegog-pen) di Jembrana-Bali tahun delapan puluhan. Oto Sidarta saat itu menyatakan bahwa Jegog sebagai salah satu “minus musik” terbaik didunia. Bahkan Budayawan Sardono W Kusumo yang sempat menyaksikan Kesenian Jegog langsung di tanah kelahirannya Kabupaten Jemnbrana-Bali, menyatakan Jegog merupakan bentuk teater paling lengkap didunia !.

Atas berbagai apresiasi dan penghargaan yang diberikan terhadap Seni JEGOG sebagai kesenian Khas Kabuoaten Jembrana-Bali barat, dan diakui sebagai satu-satunya kesenian Tetabuhan Bambu yang masih terjaga keberadaannya didunia ini, lantas apakah JEGOG itu ?

Secara historical, Keseian JEGOG lahir sebagai sebuah produk tandingan (budaya tnadingan), atas keberadaan produk-produk kesenian “adiluhung” yang ada dipusat-pusat kekuasaan Bali Timur khususnya keberadaan “Gong Gede”, sebagai produk kesenian adiluhung yang hanya dimainkan dipuri-puri sebagai pusat kekuasaan, dan haram hukum-nya jika dimainkan oleh masyarakat pinggiran, atau buangan yang ada di Bali Barat (Jembrana-pen). Mengingat Jembrana atau Jimbarwana (Hamparan Hutan Yang Luas) adalah merupakan “daerah buangan”, bagi masyarakat yang diangap “membangkang” pada zaman raja-raja di Bali khususnya Kerajaan Mengwi-Badung.

Demikian juga dengan jenis-jenis kesenian khas Jembrana lainnya, seperti Kesenian Tari Leko yang merupakan Budaya Tandingan atas Kesenian Tari Leging Kraton, Seni Teater Tradisional Sewa Gati atau Arje Negak (duduk bhs indonesia), sampai pada produk-produk budaya kekinian lainnya baik yang kontemporer maupun modern, semua terkesan berada pada wilayah yang “Bukan Bali”, atau tercerabut dari Akar Cultur Bali, seperti yang selama ini dipahami secara awam.

JEGOG JAZZ ?
Secara sosio cultural, sejatinya keberadaan Seni Jegog dan “Aliran” Musik Jezz adalah sama. Dalam artian, sama-sama merupakan bentuk perlawanan budaya terhadap nilai-nilai kemapanan. Kalau Jegog merupakan bentuk perlawanan terhadap produk=[roduk budaya puri sebagai pusat kekuasaan, dan nilai-nilai keluhuran. Sementara Jazz sendiri, diyakini lahir atas sebuah perlawanan terhadap lambang-lambang kemapanan yang menjadi otoritas kaum kulit putih.

Pada demensi musikalitas, Jezz yang oleh Almarhum Harry Rusli disebut sebagai “Musik Salah”, sebenarnya sebangun dengan demensi musikalitas yang dianut oleh Jegog sebagai bentuk karawitan dengan bilah-bilah bambu besarnya. Karea sesuai dengan hasil Seminar Karawitan tentang Kesenian Jegog Tahun 1998 di Puri Gamelan Suwar Agung Jembrana, disepakati bahwa nada yang dianut oleh Jegog adalah “Nada Banci”. Dalam artian, berada diantara nada pelog dan selendro.

Seperti juga dengan keberadaan Musik Jazz, yang kaya dengan ruang-ruang improvisasi, Jegoh dengan konsep “bebarungan”-nya juga membuka ruang yang sangat luas untuk lahirnya improvisasai, yang didalam pergaulan masyarakat Musik Jazz sering diterjemahkan sebagai prilaku Jump Sation. Dimana ruang untuk saling meningkahi, didalam membangun sebuah harmoni musikalitas terbuka dengan amat sangat lebar.

Beranjak dari keberadaan Jegog dan Jezz sebagai lambang peradaban barat dan timur itulah, para kreator musik di Kabupaten Jembrana-Bali sepakat untuk melahirkan sebuah karya colaboratif dialogis yang memadukan unsur-unsur bunyi dan muatan musikalitas yang menjadi anutan atas Seni Jegog dan Jazz, sebagai sebuah perlambang dialogis cuktural antara peradaban timur dan barat. Maka lahirlah sebuah komposisi musikalitas yang sedikit “aneh” dan “nyeleneh” atas sebuah perpaduan anatara Jegog dan Jazz sebagai sebuah kesejatian dan anutan kreatif, yang kemudian disepakati bernama JEGOG JAZZ.

Demikianlah sedikit prolog, serta konsep dasar lahirnya karya musikalitas yang kemudian disebut sebagai JEGOG JAZZ.

Selamat menikmati.

Jembrana-Bali, awal Oktober 2009



Selengkapnya...

Sebuah Dramaturgi Bibit dan Candra “KATA HATI” DAN “MATA HATI”

Luar Biasa memang, hanya dalam hitungan waktu 1 (satu) minggu, mantan Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Candra M Hamzah yang kasusnya kini tengah menjadi buah bibir secara nasional itu, mampu untuk mengumpulkan 1 juta dukungan lewat jejaring sosial dunia maya Facebook. Hal ini tentu kemudian mengundang tanya, kenapa hal seperti itu bisa terjadi.

Harus diakui, mengumpulkan dukungan sebanyak 1 juta bahkan lebih lewat jejaring sosial dunia maya seperti Facebook bukanlah perkara mudah dan gampang. Tetapi kenapa lewat Gerakan 1 Juta Dukungan Buat Pak Bibit dan Mas Candra ini, sesuatu yang muskil tiba-tiba menjadi gampang ?. Atau ada apa sebenarnya dibalik derasnya dukungan itu ?. Padahal secara pribadi Pak Bibit dan Mas Candra tidak melakukan apa-apa jika dihubungkan dengan urusan dukung mendukung lewat jejaring sosial dunia maya Facebook itu.
Jawaban paling gampang dan sederhana atas gejala dukungan kepada Pak Bibit dan Mas Candra ini memang sedikit banyak tentu sangat dipengaruhi oleh derasnya informasi lewat pemberitaan dengan berbagai kemasan, yang dilakukan oleh media, terutama media televisi didalam mem-back up kasus hukum yang melibatkan dua mantan Wakil Ketua KPK yang tiba-tiba namanya meroket bak meteor itu, sehingga menjadi tranasparan dan terang benderang.

Alasan karena dukungan dan campur tangan media itu tentu sulit untuk membantahnya. Media memang memiliki kekuatan provokasi yang sangat kuat didalam membangun image sosial dan pencitraan atas sebuah kejadian, termasuk juga bagi aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Tetapi bukankah yang dilakukan media khususnya tetevisi didalam mengabarkan berbagai bentuk informasi pemberitaan terhadap kasus – kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tentu disajikan secara seimbang ?. Artinya, semua harus dicatat dan semua dapat tempat (meminjam Chairil Anwar). Hal itu juga bermakna bahwa didalam memberitakan kasus yang kini menjadi buah bibir masyarakat luas itu, tentu bukan hanya Pak Bibit dan Mas Candra saja yang di-expose, tetapi juga aktor-aktor lainnya.

Pertanyaannya kembali kepada alenia-alenia awal dari Tajuk Rencana ini, “Kenapa hanya Pak Bibit dan Mas Candra yang mampu dan bisa menarik simpati masyarakat ?. Bahkan kemudian menjadi tokoh sentral yang harus dibela, dan perlu dikasihani ?”. Padahal semua aktor yang terlibat didalam kasus ini apakah itu Anggodo, Ari Mulyadi, Yulianto, dan yang lainnya sudah diberikan ruang yang sama oleh media sesuai dengan prinsip pemberitaan yang berimbang.

Atas kenyataan-kenyataan yang ada, maka tidaklah terlalu tepat kalau dikatakan bahwa simpati yang diberikan kepada Pak Bibit dan Mas Candra oleh masyarakat luas semata-mata disebabkan oleh keberpihakan media kepada kedua tokoh itu. Tetapi dibalik semua itu ada sebuah misteri yang bersemanyam dimasing-masing detak jantung anak bangsa negeri ini. Sebuah misteri yang hanya dapat dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Apalagi kemudian didekati dengan jeratan pasal-pasal hukum seperti yang dilakukan selama ini oleh para pendekar hukum dinegeri ini. Dan misteri itu disebut dengan “Kata Hati”.

“Kata Hati” dan “Mata Hati” masyarakat Indonesialah itulah yang membuat Pak Bibit dan Mas Candra mendapatkan simpati. Artinya, ada suasana kebathinan yang sama diantara anak-anak bangsa ini, didalam melihat kasus yang kini menimpa Pak Bibit dan Mas Candra. Dan keberadaan Pak Bibit dan Mas Candra disini tidak lebih hanya sebagai pemic, atau sebagai pelatuk akan suasana kebathinan itu.

Kalau kasus yang kini tengah menimpa Pak Bibit dan Mas Candra itu digolongkan sebagai kasus yang berhubungan dengan pelanggaran hukum, maka suasana kabathinan itu bernama “Rasa Keadilan”.

Jadi terkoyaknya rasa keadian secara kolektif ang dirasakan oleh masyarakat secara luas itulah yang menjadi kata kunci, kenapa Rakyat Indonesia secara bahu membahu memberikan dukungan moral kepada Pak Bibit dan Mas Candra, dan bukan kepada aktor-aktor lainnya yang juga terlibat secara langsung atau tidak langsung didalam lakon dramaturgi yang rekamannya sudah diputar dan diperdengarkan secara terbuka dalam Prosesi Spiritual Sidang Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu itu.

Kalau memang demikian adanya, lantas kemanakah lakon drama turgi yang melibatkan Pak Bibit dan Mas Candra ini akan bermuara ?. Semua itu kita kembalikan kepada misteri yang bersemayam didalam dada kita masing-masing sebagai anak bangsa. Sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keberadaan dan kehormatan negara dan bangsa tercinta Indonesia Raya ini.

Dan misteri yang bernama “Kata Hati” dan “Mata Hati” itu yang ternyata tidak pernah menjadi “kelu dan bisu” apalagi “buta”. Seperti peringatan yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, “Jangan pernah berani kepada kehendak rakyat”. Sebuah peringatan yang sangat bijaksana bagi kita didalam menjaga bangunan peradaban dan kehormatan negara-bangsa tercinta INDONESIA RAYA..










Selengkapnya...

Rabu, 01 April 2009

PUNAKAWAN
Oleh: dharma santika putra

PERNAHKAH anda bayangkan sebuah pertunjukan rakyat, apapun itu namanya mulai dari wayang kulit, arja, drama gong, ketoprak, lenong, dll, dalam setiap sajiannya tanpa pelengkap yang namanya punakawan? Kalau hal seperti itu terjadi, maka sebuah sajian teater akan menjadi bak sayur tanpa garam. Hambar, tanpa rasa. Bahkan mungkin saja memuakkan. Tetapi bagaimana jadinya bila sebuah pertunjukan semua pelaku dan pelakonnya adalah punakawan? Jawabnya tentu hanya satu: edan!

Seperti jagat perpolitikan mutakhir kita dewasa ini. Tidak di Jakarta tidak di Denpasar, hingga Jembrana dan desa – dusun yang ada, akrobatik politik seolah telah menjadi keseharian yang kian hari kian terasa memuakkan. Kenapa memuakkan? Ya, karena hampir semua pelaku politiknya adalah punakawan. Semua Petruk, semua Gareng, semua Sekuni. Semuanya menjadi kaya banyolan. Penuh canda dan tawa. Bahkan hingga Ki Dalang pun ternyata seorang punakawan.

Demikianlah jagat politik gemah rimpah tanpa loh jiwani. Seorang anak singkong sampai punggawa dan dukuh-dukuh, seenaknya saja berubah peran sesuai dengan pakem yang dianutnya sendiri. Jangan pernah merasa heran, kalau kemarin seorang punggawa harus menjadi lawan, esok hari dia akan menjadi sekutu yang paling setia. Yang penting tidak kehilangan tahta kepunggawan. Yang penting tidak kehilangan tongkat kesenapatian. Teman atau lawan dalam pakem perpolitikan di negeri yang subur makmur tetapi miskin ini akan menjadi sebuah keniscayaan. Perilaku politik sudah terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Jadi sah-sah saja kalau dalam pergaulan dan pergumulan politik orang akan melakukan langkah yang paling nista.

Bentuk dan perilaku mengamankan diri sendiri sehingga tidak sampai kehilangan kehormatan elit adalah sebuah perilaku biasa-biasa saja. Tanpa ekspresi di akan memasang muka tebal. Meskipun orang-orang di sekitar senantiasa menyebutnya sebagai pemalu yang bermuka tebal. Berbicara tentang tebal muka, pada wilayah kepunakawanan setiap bentuk teater tradisional adalah sebuah keharusan. Anda akan dengan gampang melihat seorang aktor kehilangan muka lantaran dijejali oleh ketebalan bedak yang merubah mukanya menjadi Petruk, menjadi Gareng, menjadi Anjing penjaga yang setia. Jadi jangan pernah bertanya dan percaya kalau seorang punakawan memiliki apa yang disebut harga diri. Karena dia sendiri dengan ketebalan bedaknya sudah harus kehilangan identitas dirinya sendiri. Dan bila harus bercermin, si aktor akan bingung entah itu wajah siapa.

Hari ini seorang anak bangsa harus tersungkur karena sebuah bisikan dan fitnah keji seorang punakawan. Padahal sebelumnya, si punakawan sendiri adalah menjadi tangan paling kanan si tokoh. Teman untuk diajak berbagi cerita sebagai sesama anak bangsa yang dialiri darah biru kepahlawanan, berbagi keuntungan atas bertali-tali emas batangan hingga dinar setelah menjual dan memindah tangankan kekayaan nenek moyang mereka atas mana sebuah pengabdian yang berdasarkan oleh sikap mental kepahlawanan. Toh sebuah sikap mental adalah sesuatu yang laten, si temanpun tampil dan menjelma menjadi musuh yang paling mengancam. Menggunting dalam lipatan demikian buku pintar politik mutakhir menyebutnya. Diapun mengabdi kepada dua majikan. Yang penting selamat!

Siapa berani membantah. Bahwa langkah-langkah taktis untuk mencari selamat adalah merupakan hak yang paling hakiki dari seorang umat manusia? Salah-salah mereka yang berani mengingatkan langkah mencari selamat itu, harus berurusan dengan komisi hak azasi manusia , lantaran dituduh telah melanggar hak azasi seseorang warga negara yang mencari selamat.

Pertanyaannya adalah, di mana letak rasa setia kawan dan sebuah solidaritas sosial? Jagat politik tidak mengenal rasa setia kawan, demikian orang cerdik pandai menjawabnya. Yang ada adalah dalil politik yang bernama kepentingan dan kekuasaan. Lantas apakah karena alasan kepentingan dan kekuasaan kita harus mengorbankan rasa setia kawan kita? Dalam jagat politik jawabannya adalah “ya”. Dan pertanyaan berikutnya adalah, siapakah yang disebut sebagai kita itu? Anda, saya, mereka, atau kami? Sebuah pertanyaan yang muskil untuk dijawab secara jujur. Karena dalam pergaulan politik yang dianut, tidak dikenal lagi kejujuran. Kejujuran dalam lakon politik adalah kejujuran untuk mengamankan diri. Kejujuran untuk tidak kehilangan tahta. Kejujuran untuk menikam seorang karib dan sahabat, bahkan saudara. Untuk sebuah ambisi yang bernama kekuasaan. Demikianlah jagat politik kita berkembang dalam wilayah jelajah iklim yang memancaroba. Sulit untuk membedakan yang mana pahlawan, yang mana pecundang. Yang paling aman adalah memilih laku sebagai punakawan. Tokoh tidak penting dan sampiran dalam lakon-lakon teater tradisional. Tetapi senantiasa ikut menentukan arah cerita. Bahkan mampu mempengaruhi laku budaya seorang pemimpin. Apakah dia seorang raja, presiden, gubernur atau bupati. Bahkan saking piawainya seorang punakawan, dia mampu untuk mempengaruhi Ki Dalang untuk memainkan tokoh dirinya sehingga menjadi pahlawan seperti darah pahlawan yang mengalir pada dirinya. Meskipun dalam budaya kontemporer dewasa ini, sulit membedakan mana pahlawan, mana penghianat. Seperti kenyataan hari ini. Disaat bulan mati. Kelir ditutup. Ki Dalang turun panggung. Yang dikenang penonton ternyata punakawan yang bernama Petruk dan Gareng, Ger!•




Selengkapnya...

Rabu, 21 Januari 2009

Benarkan ?
UU PORNOGRFI HANYA GUYONAN
Oleh: Dharma Santika Putra.

Malam itu, pukul. 22.05 (Wita) Televisi Trans 7 menyajikan acara “Bukan” EMPAT MATA. Host-nya tetap “Bukan” Tukul Arawana. Demikian juga dengan dua pendampingnya masih tetap “Bukan” Peppy, dan “Bukan” Maria Vega. Pokoknya semuanya dalam kondisi “Bukan”. Karena toh yang digugat dan dilarang oleh KPI adaah Acara EMPAT MATA, tetapi bukan acara “Bukan” EMPAT MATA. Atau nanti acara “Bukan” EMPAT MATA akan di bredel oleh lembaga “Bukan” KPI.

Malam itu yang manarik dari tayangan acara “Bukan” Empat Mata bukanlah guyonan elit TV.Trans 7 didalam ng’gombali KPI, tetapi ada hubungannya dengan bagaimana Mas Tukul dengan bintang tamu-nya Trio Macan ng’gombalin produk perundang-undangan yang sama sekali tidak penting dan tidak perlu, yang kemudian disebut sebagai UU Pornogtafi itu. Tetapi apa yang disajikan oleh Acara Bukan EMPAT MATA itu benar-benar semakin meyakinkan, bahwa sejatinya keberadaan UU Pornografi itu tidak lebih dari parodi paling syahwat abad ini. Bagaimana tidak, wong pada Acara Bukan EMPAT MATA UU. Pornigrafi jelas-jelas dilanggar dengan goyangan dari Trio Macam. Dan yang lebih gendeng lagi, pelanggaran atas UU Pornografi itu dusajikan serta ditayangkan kepada publik. Seolah mau berteriak, “Mana dadamu hai UU Pornografi, ini dadaku sebagai anak bangsa !”.

Anda tidak percaya ?.
Jujur saja, ketika saya menyaksikan goyangan Trio Macan di Acara Bukan EMPAT MATA, sebagai laki-laki normal, kejantanan dan syahwat kelaki-lakian saya merasa tertantang. Dan jujur saya menjadi tergoda. Dan saya kok demikian yakin, laki-laki lainnya juga akan mengalami hal yang sama, ketika melihat bagaimana Trio Macan bergoyang sambil diiringi “ketipung-gendang india”. Jika sebagai laki-laki anda tidak tergoda, saya sarankan anda untuk berkonsultasi ke psikiater, atau kepada dokter Boyke !. Belum lagi kalau bicara tentang pakaian dari Trio Macan yang sudah sama-sama kita pahami. Ini
jelas-jelas melanggar UU Pornografi !.

Saya memberikan apresiasi terhadap acara Bukan EMPAT MATA dan kemudian Trio Macan yang kebetulan menjadi “bintang” tamu, bukanlah sebagai rekomendasi kepada KPI untuk menghentikan penayangan Acara Bukan Empat Mata. Atau memprovokasi para penegak hukum untuk menciduk Trio Macan atas prilakunya. Tetapi lebih sebagai sebuah refleksi, betapa gombal dan munafiknya bangsa awak ini.

Secara jujur, malam itu saya sangat menunggu-nunggu berita ditelevisi, bagaimana Trio Macan setelah menghadiri Acara Bukan Empat Mata kemudian diciduk oleh polisi, atau para aparat penegak hukum, lantaran melanggar UU Pornografi.

Tetapi semua itu sampai satu pekan kebelakang ini tidak terjadi. Sehingga saya menjadi pantas, kalau beberapa waktu lalau menulis sebuah opini UU PORNOGRAFI, JANGAN DITOLAK, LANGGAR SAJA ! Dan ajakan itu sampai hari ini tetap saya kampanyekan, untuk menandingi kampanye para calon legeslator di DPR. DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang sibuk dengan Strategi Setor Muka lewat berbagai sarana outdor seperti poster, baliho, spanduk, stiker, dll.



Selengkapnya...

Selasa, 13 Januari 2009

UU Pornografi: JANGAN DITOLAK, LANGGAR SAJA !

Ribut-ribut tentang keberadaan, das atas disahkannya produk perundang-undangan yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat banyak sebagai Undang Undang Pornografi oleh para “wakil rakyat yang terhormat”, sebenarnya tidaklah terlalau menarik untuk ditelaah lebih jauh. Apalagi harus disikapi dengan amat sangat serius. Karena pengalaman sudah membuktikan, dan seperti banyak sinisme yang dilontarkan, ternyata negara dan bangsa ini hanya pintar membuat undang –undang. Sementara untuk urusan penerapannya memang harus diakui masih jauh dari harapan. Sepertri kata orang, “Jauh Panggang dari Api”. Artinya ?. Ya. “Gosong Dong !”. Masak “Gosong lah ?”.

Demikian juga halnya dengan keberadaan UU Pornografi. Kalau kita coba untuk menapaktilas kembali atas keberadaan kenapa sampai harus ada produik perundang-undangan yang bernama UU Pornografi itu, maka jawabannya tidak lain dan tidak bukan, semua itu berangkat dari sebuah sikap kemunafikan yang menahun dari bangsa ini yang juga dianut oleh para elit, utamanya para wakil rakyat yang terhormat itu. Seolah-olah dengan keberadaan undang-undang yang erat kaitannya dengan sayahwat manusiawi itu, maka permasakahan yang dihadapi oleh bangsa ini akan dapat dibereskan.

Sebuah pemikiran yang sempit dan picik memang. Tetapi mau apa lagi, karena memang demikianlah kondisi dan kenyataan sebenarnya, atas keberadaan dan kualitas para wakil rakyat yang terhormat itu. Justru kalau kita minta yang lebih kita salah. Karena semua itu menjadi tidak mungkin. Artinya, memang sebegitulah kualitas para wakil rakyat kita. Seimbang dengan kualitas diri dan hasil kerjanya, dan salah satu capaian atas semua itu adalah UU Pornografi itu. Jadi untuk maklum saja.

Pilihan Sadar
Karena kita sadar akan keberadaan dan kualitas kebanyakan drai wakil rakyat kita yang duduk di Balai Sidang Senayan itu, maka terlalu berkebihan pula kalau kita memaksakan kehendak kita kepada mereka-mereka yang terhormat itu. Karena apa, karena sekali lagi, kualitas dan bobot kebanyakan dari mereka memang pas-pas-an. Meskipun sebagai anak bangsa kita sadar betul, bahwa apa yang kita sampaikan itu memang benar dan dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini didalam merenda kembali peradaban kebangsaan kita sebagai sebuah bangunan yang utuh.

Tetapi sekali lagi. Dan untuk dimaklumi, kualuitas dan kapasitas para wakil rakyat kita kebanyakan memang tidak sampai. Jadi apa yang kita teriakkan, apa yang kita lontarkan, apa yang kita demo-kan akan membentur tembok tebal yang Bebal. Tembok tebal yang Tuli, Tembok Tebal yang Bisu, dan Tembok Tebal yang Buta.

Nah, kalau memang sudah begitu dan begini adanya, lantas kita mau bilang apa lagi. Bagimana kita harus ngomong dan berbicara dengan mereka-mereka yang otaknya bebal ?. Telinganya Tuli, dan Matanya Buta ?. Tetua di Bali mengistilahkan, untuk urusan atau protes kita kepada keberadaan UU Pornografi, itu artinya kita tengah terperangkap didalam sebuah wilayah entah berantah, yang diistilahkan sebagai prilaku , “Ka’ak-Ku’uk Di Karang Suwung”. ( Berteriak di Padang Pasir nan Sepi).

Kalau memang demikian adanya, lantas apakah yang harus dilakukan ?. Atau sikap macam apakah yang arus diambil sebagai bentuk perlawanan dan juga partisipasi kita sebagai wraga negara terhadap keberadaan UU Pornpografi itu ?.

Atas pertanyaan itu, maka jawabannya ada dua, pertama sebagai warga negara kita dapat mengambil prilaku partisipatif yang diistilahkan sebagai “Partisipasi Diam”. Artinya, sebagai warga negara kita memposisikan diri dengan sikap duduk manis, pada posisi sebagai penonton atas sebuah drama parodi kehidupan, hukum, dan politik yang bernama UU Pornografi.

Atau pilihan kedua yang lebih terkesan gagah, yakni dengan melakukan pembangkangan demi pembangkangan, atas keberadaan UU Pornografi seperti yang dilakukan oleh beberapa komponen bangsa ini. Terutama masyarajat negara-bangsa yang berasal dari Papua, Bali, Sulawesi, dan Yogjakarta. Serta beberapa anak bangsa yang memiliki kepedulian lebih atas keutuhan bangunan peradaban negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dengan kebhinekaannya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman-pluralitas sebagai sebuah keniscayaan insaniah, sekaligus ilahiah.

Langgar Saja
Ada ungkapan yang cukup menarik, yang ingin saya tawarkan, sehubungan dengan keberadaan UU Pornografi. Ungkapan itu adalah, “Bahwa sebuah aturan diadakan, atau dibuat memang untuk dilanggar”. Lho kok malah mengajak melanggar aturan. Apa tidak salah ini ?.

Ya, pasti tidak salah dong. Karena apa ?. Karena kita ada di Indonesia. Mungkin kalau kita ada di luar Indonesia. melanggar aturan atau undang-undang itu memang salah. Bahkan bisa dihukum. Tetapi kan pengalaman membuktikan tidak demikian dengan di Indonesia. Jadi mumpung kita masih di Indonesia, dan aturan yang kita langgar juga aturan yang spiritnya sangat tidak Indonesia. Lalu takut apa ?.

Juastru kalau UU Pornografi itu tidak dilanggar, itu berarti kita menghianati ke-INDONESIA-an kita. Apakah kita ingin menjadi penghianat terhadap Negeri tercinta Indoneia Raya ini ?.

Bingung kan ?.

Tidak usah bingung-bingung, Karena UU Pornografi juga dilahirkan dan disahkan oleh mereka-mereka yang bingung. Minimal mereka bingung karena tidak bisa melihat Peta Indonesia secara utuh. Karena kalau mereka dapat melihat dan memahami Indonesia secara utuh, maka produk perundang-undangan seperti UU Pornografi itu tidak akan terbit dan disahkan.

Jadi agar tidak ikut bingung, Ya, Langgar saja !.
Selengkapnya...