Sabtu, 14 November 2009

Catatan Kecil



Peluncuran Kumpulan Cerpen LOBAKAN
“Kesenyapan Gemuruh Bali’ 65”


LUKA PERADABAN YANG DIPELIHARA
Oleh: dharma santika putra
Email: lubangkunci_bali@yahoo.com
BLOG: gusds.blogspot.com


Pengantar
Sebelum saya menyampaikan sebuah “Catatan Kecil” atas keberadaan dan peluncuran Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN dengan Pengantar Oleh: I Gusti Agung Ayu Ratih, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan:
1. Sebenarnya saya sangat tidak tertarik dengan acara seperti ini. Karena bagi saya, keberadaan sebuah karya sastra, tidaklah harus lewat sebuah ritus kebudayaan seperti apa yang dilakukan hari ini. Karena bagi saya, sebuah karya sastra ketika dan setelah diluncurkan, maka dia akan menjadi hak absolut dari publik pembacanya untuk mengapresiasikannya.
2. Didalam membaca Kumpulan Cerpen LOBAKA ini, saya melakukan semacam kesalahan, yakni dengan mengabaikan untuk terlebih dahulu membaca Pengantar Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKA yang ditulis oleh Ibu I Gusti Agung Ayu Ratih.
Rupanya, kekeliruan manusiawi (dengan mengabaikan untuk membaca pengantar buku-pen) merupakan salah satu penyebab kenapa saya kurang tertarik untuk menghadiri acara seperti ini. Tetapi setelah saya membaca pengantar dari Buku Kumpulan Cerpen LOBAKA ini, tiba-tiba keputusan untuk tidak menghadiri acara ini menjadi berubah, dan saya etikadkan untuk hadir. Tentu dengan sepirit yang lain, yakni ingin berbagi cerita atas sebuah nilai yang selama ini selalu dan senantiasa menjadi samar-samar dan selalu berakhir pada sebuah tanda tanya besar yang penuh kesangsian. Karena bagi saya, apa yang hari ini dilakukan adalah sebuah sikap dalam rangka Memelihara Luka Peradaban. Yang menurut hemat saya, hal seperti ini harus dihentikan. Hal ini menjadi penting, kalau kita sebagai sebuah bangunan peradaban negara-bangsa sepakat untuk melakukan rekonsuliasi secara iklas !.
3. Membaca pengantar dalam Buku Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN, saya merasa seperti membaca buku-buku agama yang kini banyak diterbit kan dan diperjual belikan secara umum belakangan ini. Dimana yang ditawarkan tidak lebih dari penafsiran-penafsiran atas keberadaan diri sebagai sumber kebenaran. Bahkan tidak sedikit yang kemudian terperangkap dengan mengumbar emosi dan dendam sebagai bagian dari ritus kamusiaan mereka.
Demikian juga dengan acara-acara sejenis ini yang sering diselenggarakan. Akhirnya hanya menjadi semacam MONOLOG. Dimana kebenaran dan penafsiran akan kebenaran menjadi harga mati, yang tidak bisa ditawar-tawar. Dimana yang satu menyalahkan yang lain, tanpa memberi ruang untuk menjawab bagi tertuduh. Sehingga yang terjadi adalah propaganda kamanusiaan yang memuakkan. Dan tawaran rekonsiliasi yang semu.

Atas 4 (empat) catatan diatas, saya mencoba untuk memahami, dan kemudian berbagai cerita akan sesuatu yang bagi saya lebih tepat disebut sebagai “SEJARAH HITAM”, dan sejatinya, setiap bangunan peradaban negara-bangsa memiliki sejarah hitamnya sendiri-sendiri. Karena seperti sebuah ungkapan, Sejarah Selalu Menjadi Milik Para Pemenang, dan bagi para pecundang, harus siap dengan pukulan kemalangan nasibnya.

Teks dan Kontek:
Secara tektual, ke-22 Cerita Pendek yang termuat didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini semuanya enak untuk dinikmati. Dan saya tidak ingin terperangkap untuk membicarakan demensi susastranya. Karena bagaimanapun juga, jika sebuah karya sastra telah dipublikasikan, maka dia akan menjadi hak absolut bagi masyarakat pembacanya. Artinya, “ya tidak ada diskusi disini”.

Tetapi bagaimanakah jika ditilik secara kontektual dan aktual ?. Jujur harus saya sampaikan disini, jika dihubungkan dengan Pengantar yang ditulis oleh Ibu I Gusti Agung Ayu Ratih, sebenarnya banyak hal yang harus didiskusikan atas pengantar itu. Karena secara kontektual (di Jembrana-Bali-pen), apa yang sering istilahkan sebagai manipulasi atas kenyataan politik saat itu (Tahun 1965) tidaklah seutuhnya benar. Hal ini dapat kita temukan dari cerita para pelaku sejarah saat itu. Yang menceritakan bahwa memang ada prilaku budaya politik yang tidak terpuji dari pada kader Partai Komunis Indonesia yang kemudian mengundang reaksi dari penganut ideologi politik lainnya.

Tetapi itu masa lalu !. Yang lebih menyedihkan dari kenyataan sejarah hitam itu, adalah tetap terpeliharanya dendam kusumat dari para korban dan juga keturunannya yang diarahkan kepada sesama warga masyarakat sipil, yang sejatinya mereka sebenarnya sama-sama menjadi korban. Korban dari sebuah kenyataan sejarah hitam atas sebuah bangunan peradaban negara-bangsa yang bernama Indonesia.

Hal ini dapat dirasakan kalau kita bertemu dengan para korban atau keturunannya. Bagaimana kebencian menjadi sesuatu yang utuh, dan dendam menjadi sesuatu yang harus ditumpahkan kepada mereka-mereka yang dianggap musuh. Kalau sudah demikian, lantas dari mana kita harus memulai apa yang disebut sebagai rekonsiliasi itu ?.

Apakah cukup hanya lewat sebuah tawaran berupa penerbitan kumpulan karya sastra seperti Kompulan Cerita Pendek LOBAKAN ini ?. Kalau memang demikian adanya, maka Kumpulan Cerpen LOBAKAN ini menjadi sesuatu yang sarat beban. Apalagi jika berangkat dari apa yang dituliskan didalam pengantar atas Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini.


Gagal
Sebelum masuk lebih jauh pada karya-karya cerita pendek yang ada didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini, saya ingin mengajak hadirin untuk mengutip beberapa bait-bait puisi dari Bapak Sutardji Calzium Bachri yang rasa-rasanya kok lebih pas untuk dipakai dasar pijak atas sebuah tawaran yang disebut sebagai rekonsiliasi peradaban akibat luka sejarah hitam ditahun 1965;

…….daging kita satu arwah kita satu
Walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
(Sajak Satu/SCB)

Sekali lagi, ke 22 cerita pendek didalam Kumpulan Cerpen LOBAKAN amat sangat enak untuk dibaca, dan dinikmati. Tetapi hanya sebatas itu. Apalagi jika dihubungkan dengan kenyataan sosial yang ada dan terjadi saat itu, dan dampaknya masih terasakan hingga kini. Disana tidak kita temukan ruang-ruang kontemplasi atau perenungan bagi pembaca, karena cerita pendek yang ada itu lebih berhenti pada sebuah DONGENG. Kenapa saya katakan demikian, karena didalam menikmati cerita pendek didalam kumpulan LOBAKAN itu saya ingin tetap konsisten pada sebuah pandangan yang kini banyak danut oleh para “korban”, bahwa apa yang kita pahami dari Sejarah Hitam di Tahun 1965 itu hanyalah manipulasi demi manipulasi oleh para pemenang yang kemudian menjadi penguasa.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin kita membangun struktur cerita pendek dari tumpukan kebohongan demi kebohongan. Apalagi jika dihubungkan dengan pengantar dari kupulan cerita pendek LOBAKAN yang berjudul, Lobakan Sebagai Pelita Jalan Sejarah. Dan juga catatan kecilnya yang cukup menarik, “Kesenyapan Gemuruh Bali’65” . Atau jangan-jangan Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini memang diidekan untuk memperpanjang kebohongan demi kebohongan yang sudah ada dan menjadi semacam penyakit genetik yang menahun bagi bangsa ini?.

Bahkan didalam sebuah diskusi kecil dikampung, Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN ini tidak ubahnya dari prilaku orang-orang yang dengan bangga menunjukkan nganga luka ditubuhnya, untuk mendapatkan belas kasihan, dan simpati, tetapi tidak terasa nyeri dan pedihnya. Sehingga kalau nganga luka itu secara terus menerus dipertontonkan tanpa proses penyembuhan, maka dia akan menjadi busuk, dan mengudang rasa jijik dan memuakkan!.

Pesan LOBAKAN yang diharapkan sebagai juru bicara kemanusiaan, atau menjadi pelita jalan sejarah sebenarnya telah menjadi gagal. Sebuah kegagalan bukan disebabkan lantaran secara apresiasi cerita pendek yang terangkum didalamnya tidak baik, tetapi gagal lantaran beratnya beban yang harus dipikulnya, didalam merbut lembar-lembar sejarah kamanusiaan di Indonesia, bahkan mungkin juga dunia.

Tentu akan lain jadinya, jika Kumpulan Cerpen LOBAKAN ini memang dihadiran untuk sebuah dialog sastrawi, sementara pesan kemanusiaan, dan pembasuhan sejarah khususnya sejarah hitam 1965 menjadi bagian dari ekses atas kelahiran karya-karya sastra cerita pendek itu sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh Bapak Sitor Situmorang atau Pramudya Ananta Toer, tanpa beban sejarah masa silam yang pekat, toh akhirnya karya-karyanya justru dimaknai sebagai Pelita Jalan Sejarah kelam itu sendiri.

Belum lagi jika dihubungkan dengan kenyataan sejarah kekinian, dimana para generasi muda lebih memahami komunis atau PKI hanya sebatas “joke” sosial didalam pergaulan mereka. Sehingga jika dicermati sebenarnya telah terjadi pergeseran-pergeseran atas nilai itu sendiri. Kalau sebelumnya komunis atau PKI dipandang sebagai sebuah ideologi politik, tetapi oleh kaum muda sekarang PKI atau Komunis diterjemahkan sebagai merek sosial atas sebuah prilaku. Sehinga lehirlah ungkapan pergaulan, “PKI Cai”, bagi anak-anak yang bandel. Atau “Diam-Diam Soviet”, bagi anak-anak yang banyak akal.

Kontektualitas sejarah masa kini atau kekinian yang merupakan akibat dari “luka sejarah hitam” di era 1965 itu, didalam Kumpulan Cerita Pendek LOBAKAN menjadi sesuatu yang luput, atau sengaja tidak disentuh untuk menjaga sebuah wacana yang ingin direbut didalam ruang publik yang lebih luas.

Penutup
Sebenarnya masih banyak hal yang harus didialogkan, sehingga kita sampai pada sebuah muara insaniah kita sebagai sebuah bangunan peradaban negara-bangsa, seperti kutipan bait-bait puisi Sutardji Calzoum Bachri diatas. Pertanyaannya, mampukah kita membangun sebuah dialog, untuk saling bertegur sapa tanpa beban dendam atas sebuah masa silam ?. Karena sejatinya, kita semua adalah korban. Karban dari sesuatu yang entah, yang bagi saya adalah HANTU !.

Terima Kasih.







Selengkapnya...

Minggu, 08 November 2009

Apresisasi

Membangun Dialog Timur-Barat
JEGOG JAZZ

Oleh: dharma santika putra
Email: lubangkunci_bali@yahoo.com
BLOG; gusds.blogspot.com

PEMAHBAH
Mantan Dirjen Kebudayaan Ibu Edi Sedyowati letika menyaksikan anak-anak dari sekolah menengah pertama negara memainkan “seni tabuh” JEGOG menyatakan penghargaan dan apresiasinya yang tinggi terhadap Seni Tabuh JEGOG sebagai satu-satunya kesenian musik bambu (ensambel bambu menurut istilah beliau ketika itu) sebagai satu-satunya “ensambel bambu tradisional” yang masih terjaga keberadaannya diatas dunia ini. Demikian juga dengan apresiasi yang disampaikan oleh Musikolog Oto Sidarta ketika melakukan study tentang musik bambu (Jegog-pen) di Jembrana-Bali tahun delapan puluhan. Oto Sidarta saat itu menyatakan bahwa Jegog sebagai salah satu “minus musik” terbaik didunia. Bahkan Budayawan Sardono W Kusumo yang sempat menyaksikan Kesenian Jegog langsung di tanah kelahirannya Kabupaten Jemnbrana-Bali, menyatakan Jegog merupakan bentuk teater paling lengkap didunia !.

Atas berbagai apresiasi dan penghargaan yang diberikan terhadap Seni JEGOG sebagai kesenian Khas Kabuoaten Jembrana-Bali barat, dan diakui sebagai satu-satunya kesenian Tetabuhan Bambu yang masih terjaga keberadaannya didunia ini, lantas apakah JEGOG itu ?

Secara historical, Keseian JEGOG lahir sebagai sebuah produk tandingan (budaya tnadingan), atas keberadaan produk-produk kesenian “adiluhung” yang ada dipusat-pusat kekuasaan Bali Timur khususnya keberadaan “Gong Gede”, sebagai produk kesenian adiluhung yang hanya dimainkan dipuri-puri sebagai pusat kekuasaan, dan haram hukum-nya jika dimainkan oleh masyarakat pinggiran, atau buangan yang ada di Bali Barat (Jembrana-pen). Mengingat Jembrana atau Jimbarwana (Hamparan Hutan Yang Luas) adalah merupakan “daerah buangan”, bagi masyarakat yang diangap “membangkang” pada zaman raja-raja di Bali khususnya Kerajaan Mengwi-Badung.

Demikian juga dengan jenis-jenis kesenian khas Jembrana lainnya, seperti Kesenian Tari Leko yang merupakan Budaya Tandingan atas Kesenian Tari Leging Kraton, Seni Teater Tradisional Sewa Gati atau Arje Negak (duduk bhs indonesia), sampai pada produk-produk budaya kekinian lainnya baik yang kontemporer maupun modern, semua terkesan berada pada wilayah yang “Bukan Bali”, atau tercerabut dari Akar Cultur Bali, seperti yang selama ini dipahami secara awam.

JEGOG JAZZ ?
Secara sosio cultural, sejatinya keberadaan Seni Jegog dan “Aliran” Musik Jezz adalah sama. Dalam artian, sama-sama merupakan bentuk perlawanan budaya terhadap nilai-nilai kemapanan. Kalau Jegog merupakan bentuk perlawanan terhadap produk=[roduk budaya puri sebagai pusat kekuasaan, dan nilai-nilai keluhuran. Sementara Jazz sendiri, diyakini lahir atas sebuah perlawanan terhadap lambang-lambang kemapanan yang menjadi otoritas kaum kulit putih.

Pada demensi musikalitas, Jezz yang oleh Almarhum Harry Rusli disebut sebagai “Musik Salah”, sebenarnya sebangun dengan demensi musikalitas yang dianut oleh Jegog sebagai bentuk karawitan dengan bilah-bilah bambu besarnya. Karea sesuai dengan hasil Seminar Karawitan tentang Kesenian Jegog Tahun 1998 di Puri Gamelan Suwar Agung Jembrana, disepakati bahwa nada yang dianut oleh Jegog adalah “Nada Banci”. Dalam artian, berada diantara nada pelog dan selendro.

Seperti juga dengan keberadaan Musik Jazz, yang kaya dengan ruang-ruang improvisasi, Jegoh dengan konsep “bebarungan”-nya juga membuka ruang yang sangat luas untuk lahirnya improvisasai, yang didalam pergaulan masyarakat Musik Jazz sering diterjemahkan sebagai prilaku Jump Sation. Dimana ruang untuk saling meningkahi, didalam membangun sebuah harmoni musikalitas terbuka dengan amat sangat lebar.

Beranjak dari keberadaan Jegog dan Jezz sebagai lambang peradaban barat dan timur itulah, para kreator musik di Kabupaten Jembrana-Bali sepakat untuk melahirkan sebuah karya colaboratif dialogis yang memadukan unsur-unsur bunyi dan muatan musikalitas yang menjadi anutan atas Seni Jegog dan Jazz, sebagai sebuah perlambang dialogis cuktural antara peradaban timur dan barat. Maka lahirlah sebuah komposisi musikalitas yang sedikit “aneh” dan “nyeleneh” atas sebuah perpaduan anatara Jegog dan Jazz sebagai sebuah kesejatian dan anutan kreatif, yang kemudian disepakati bernama JEGOG JAZZ.

Demikianlah sedikit prolog, serta konsep dasar lahirnya karya musikalitas yang kemudian disebut sebagai JEGOG JAZZ.

Selamat menikmati.

Jembrana-Bali, awal Oktober 2009



Selengkapnya...

Sebuah Dramaturgi Bibit dan Candra “KATA HATI” DAN “MATA HATI”

Luar Biasa memang, hanya dalam hitungan waktu 1 (satu) minggu, mantan Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Candra M Hamzah yang kasusnya kini tengah menjadi buah bibir secara nasional itu, mampu untuk mengumpulkan 1 juta dukungan lewat jejaring sosial dunia maya Facebook. Hal ini tentu kemudian mengundang tanya, kenapa hal seperti itu bisa terjadi.

Harus diakui, mengumpulkan dukungan sebanyak 1 juta bahkan lebih lewat jejaring sosial dunia maya seperti Facebook bukanlah perkara mudah dan gampang. Tetapi kenapa lewat Gerakan 1 Juta Dukungan Buat Pak Bibit dan Mas Candra ini, sesuatu yang muskil tiba-tiba menjadi gampang ?. Atau ada apa sebenarnya dibalik derasnya dukungan itu ?. Padahal secara pribadi Pak Bibit dan Mas Candra tidak melakukan apa-apa jika dihubungkan dengan urusan dukung mendukung lewat jejaring sosial dunia maya Facebook itu.
Jawaban paling gampang dan sederhana atas gejala dukungan kepada Pak Bibit dan Mas Candra ini memang sedikit banyak tentu sangat dipengaruhi oleh derasnya informasi lewat pemberitaan dengan berbagai kemasan, yang dilakukan oleh media, terutama media televisi didalam mem-back up kasus hukum yang melibatkan dua mantan Wakil Ketua KPK yang tiba-tiba namanya meroket bak meteor itu, sehingga menjadi tranasparan dan terang benderang.

Alasan karena dukungan dan campur tangan media itu tentu sulit untuk membantahnya. Media memang memiliki kekuatan provokasi yang sangat kuat didalam membangun image sosial dan pencitraan atas sebuah kejadian, termasuk juga bagi aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Tetapi bukankah yang dilakukan media khususnya tetevisi didalam mengabarkan berbagai bentuk informasi pemberitaan terhadap kasus – kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tentu disajikan secara seimbang ?. Artinya, semua harus dicatat dan semua dapat tempat (meminjam Chairil Anwar). Hal itu juga bermakna bahwa didalam memberitakan kasus yang kini menjadi buah bibir masyarakat luas itu, tentu bukan hanya Pak Bibit dan Mas Candra saja yang di-expose, tetapi juga aktor-aktor lainnya.

Pertanyaannya kembali kepada alenia-alenia awal dari Tajuk Rencana ini, “Kenapa hanya Pak Bibit dan Mas Candra yang mampu dan bisa menarik simpati masyarakat ?. Bahkan kemudian menjadi tokoh sentral yang harus dibela, dan perlu dikasihani ?”. Padahal semua aktor yang terlibat didalam kasus ini apakah itu Anggodo, Ari Mulyadi, Yulianto, dan yang lainnya sudah diberikan ruang yang sama oleh media sesuai dengan prinsip pemberitaan yang berimbang.

Atas kenyataan-kenyataan yang ada, maka tidaklah terlalu tepat kalau dikatakan bahwa simpati yang diberikan kepada Pak Bibit dan Mas Candra oleh masyarakat luas semata-mata disebabkan oleh keberpihakan media kepada kedua tokoh itu. Tetapi dibalik semua itu ada sebuah misteri yang bersemanyam dimasing-masing detak jantung anak bangsa negeri ini. Sebuah misteri yang hanya dapat dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Apalagi kemudian didekati dengan jeratan pasal-pasal hukum seperti yang dilakukan selama ini oleh para pendekar hukum dinegeri ini. Dan misteri itu disebut dengan “Kata Hati”.

“Kata Hati” dan “Mata Hati” masyarakat Indonesialah itulah yang membuat Pak Bibit dan Mas Candra mendapatkan simpati. Artinya, ada suasana kebathinan yang sama diantara anak-anak bangsa ini, didalam melihat kasus yang kini menimpa Pak Bibit dan Mas Candra. Dan keberadaan Pak Bibit dan Mas Candra disini tidak lebih hanya sebagai pemic, atau sebagai pelatuk akan suasana kebathinan itu.

Kalau kasus yang kini tengah menimpa Pak Bibit dan Mas Candra itu digolongkan sebagai kasus yang berhubungan dengan pelanggaran hukum, maka suasana kabathinan itu bernama “Rasa Keadilan”.

Jadi terkoyaknya rasa keadian secara kolektif ang dirasakan oleh masyarakat secara luas itulah yang menjadi kata kunci, kenapa Rakyat Indonesia secara bahu membahu memberikan dukungan moral kepada Pak Bibit dan Mas Candra, dan bukan kepada aktor-aktor lainnya yang juga terlibat secara langsung atau tidak langsung didalam lakon dramaturgi yang rekamannya sudah diputar dan diperdengarkan secara terbuka dalam Prosesi Spiritual Sidang Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu itu.

Kalau memang demikian adanya, lantas kemanakah lakon drama turgi yang melibatkan Pak Bibit dan Mas Candra ini akan bermuara ?. Semua itu kita kembalikan kepada misteri yang bersemayam didalam dada kita masing-masing sebagai anak bangsa. Sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas keberadaan dan kehormatan negara dan bangsa tercinta Indonesia Raya ini.

Dan misteri yang bernama “Kata Hati” dan “Mata Hati” itu yang ternyata tidak pernah menjadi “kelu dan bisu” apalagi “buta”. Seperti peringatan yang dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, “Jangan pernah berani kepada kehendak rakyat”. Sebuah peringatan yang sangat bijaksana bagi kita didalam menjaga bangunan peradaban dan kehormatan negara-bangsa tercinta INDONESIA RAYA..










Selengkapnya...