Ribut-ribut tentang keberadaan, das atas disahkannya produk perundang-undangan yang kemudian lebih dikenal oleh masyarakat banyak sebagai Undang Undang Pornografi oleh para “wakil rakyat yang terhormat”, sebenarnya tidaklah terlalau menarik untuk ditelaah lebih jauh. Apalagi harus disikapi dengan amat sangat serius. Karena pengalaman sudah membuktikan, dan seperti banyak sinisme yang dilontarkan, ternyata negara dan bangsa ini hanya pintar membuat undang –undang. Sementara untuk urusan penerapannya memang harus diakui masih jauh dari harapan. Sepertri kata orang, “Jauh Panggang dari Api”. Artinya ?. Ya. “Gosong Dong !”. Masak “Gosong lah ?”.
Demikian juga halnya dengan keberadaan UU Pornografi. Kalau kita coba untuk menapaktilas kembali atas keberadaan kenapa sampai harus ada produik perundang-undangan yang bernama UU Pornografi itu, maka jawabannya tidak lain dan tidak bukan, semua itu berangkat dari sebuah sikap kemunafikan yang menahun dari bangsa ini yang juga dianut oleh para elit, utamanya para wakil rakyat yang terhormat itu. Seolah-olah dengan keberadaan undang-undang yang erat kaitannya dengan sayahwat manusiawi itu, maka permasakahan yang dihadapi oleh bangsa ini akan dapat dibereskan.
Sebuah pemikiran yang sempit dan picik memang. Tetapi mau apa lagi, karena memang demikianlah kondisi dan kenyataan sebenarnya, atas keberadaan dan kualitas para wakil rakyat yang terhormat itu. Justru kalau kita minta yang lebih kita salah. Karena semua itu menjadi tidak mungkin. Artinya, memang sebegitulah kualitas para wakil rakyat kita. Seimbang dengan kualitas diri dan hasil kerjanya, dan salah satu capaian atas semua itu adalah UU Pornografi itu. Jadi untuk maklum saja.
Pilihan Sadar
Karena kita sadar akan keberadaan dan kualitas kebanyakan drai wakil rakyat kita yang duduk di Balai Sidang Senayan itu, maka terlalu berkebihan pula kalau kita memaksakan kehendak kita kepada mereka-mereka yang terhormat itu. Karena apa, karena sekali lagi, kualitas dan bobot kebanyakan dari mereka memang pas-pas-an. Meskipun sebagai anak bangsa kita sadar betul, bahwa apa yang kita sampaikan itu memang benar dan dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini didalam merenda kembali peradaban kebangsaan kita sebagai sebuah bangunan yang utuh.
Tetapi sekali lagi. Dan untuk dimaklumi, kualuitas dan kapasitas para wakil rakyat kita kebanyakan memang tidak sampai. Jadi apa yang kita teriakkan, apa yang kita lontarkan, apa yang kita demo-kan akan membentur tembok tebal yang Bebal. Tembok tebal yang Tuli, Tembok Tebal yang Bisu, dan Tembok Tebal yang Buta.
Nah, kalau memang sudah begitu dan begini adanya, lantas kita mau bilang apa lagi. Bagimana kita harus ngomong dan berbicara dengan mereka-mereka yang otaknya bebal ?. Telinganya Tuli, dan Matanya Buta ?. Tetua di Bali mengistilahkan, untuk urusan atau protes kita kepada keberadaan UU Pornografi, itu artinya kita tengah terperangkap didalam sebuah wilayah entah berantah, yang diistilahkan sebagai prilaku , “Ka’ak-Ku’uk Di Karang Suwung”. ( Berteriak di Padang Pasir nan Sepi).
Kalau memang demikian adanya, lantas apakah yang harus dilakukan ?. Atau sikap macam apakah yang arus diambil sebagai bentuk perlawanan dan juga partisipasi kita sebagai wraga negara terhadap keberadaan UU Pornpografi itu ?.
Atas pertanyaan itu, maka jawabannya ada dua, pertama sebagai warga negara kita dapat mengambil prilaku partisipatif yang diistilahkan sebagai “Partisipasi Diam”. Artinya, sebagai warga negara kita memposisikan diri dengan sikap duduk manis, pada posisi sebagai penonton atas sebuah drama parodi kehidupan, hukum, dan politik yang bernama UU Pornografi.
Atau pilihan kedua yang lebih terkesan gagah, yakni dengan melakukan pembangkangan demi pembangkangan, atas keberadaan UU Pornografi seperti yang dilakukan oleh beberapa komponen bangsa ini. Terutama masyarajat negara-bangsa yang berasal dari Papua, Bali, Sulawesi, dan Yogjakarta. Serta beberapa anak bangsa yang memiliki kepedulian lebih atas keutuhan bangunan peradaban negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dengan kebhinekaannya, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman-pluralitas sebagai sebuah keniscayaan insaniah, sekaligus ilahiah.
Langgar Saja
Ada ungkapan yang cukup menarik, yang ingin saya tawarkan, sehubungan dengan keberadaan UU Pornografi. Ungkapan itu adalah, “Bahwa sebuah aturan diadakan, atau dibuat memang untuk dilanggar”. Lho kok malah mengajak melanggar aturan. Apa tidak salah ini ?.
Ya, pasti tidak salah dong. Karena apa ?. Karena kita ada di Indonesia. Mungkin kalau kita ada di luar Indonesia. melanggar aturan atau undang-undang itu memang salah. Bahkan bisa dihukum. Tetapi kan pengalaman membuktikan tidak demikian dengan di Indonesia. Jadi mumpung kita masih di Indonesia, dan aturan yang kita langgar juga aturan yang spiritnya sangat tidak Indonesia. Lalu takut apa ?.
Juastru kalau UU Pornografi itu tidak dilanggar, itu berarti kita menghianati ke-INDONESIA-an kita. Apakah kita ingin menjadi penghianat terhadap Negeri tercinta Indoneia Raya ini ?.
Bingung kan ?.
Tidak usah bingung-bingung, Karena UU Pornografi juga dilahirkan dan disahkan oleh mereka-mereka yang bingung. Minimal mereka bingung karena tidak bisa melihat Peta Indonesia secara utuh. Karena kalau mereka dapat melihat dan memahami Indonesia secara utuh, maka produk perundang-undangan seperti UU Pornografi itu tidak akan terbit dan disahkan.
Jadi agar tidak ikut bingung, Ya, Langgar saja !.
Selengkapnya...
Selasa, 13 Januari 2009
UU Pornografi: JANGAN DITOLAK, LANGGAR SAJA !
Langganan:
Postingan (Atom)