Rabu, 01 April 2009

PUNAKAWAN
Oleh: dharma santika putra

PERNAHKAH anda bayangkan sebuah pertunjukan rakyat, apapun itu namanya mulai dari wayang kulit, arja, drama gong, ketoprak, lenong, dll, dalam setiap sajiannya tanpa pelengkap yang namanya punakawan? Kalau hal seperti itu terjadi, maka sebuah sajian teater akan menjadi bak sayur tanpa garam. Hambar, tanpa rasa. Bahkan mungkin saja memuakkan. Tetapi bagaimana jadinya bila sebuah pertunjukan semua pelaku dan pelakonnya adalah punakawan? Jawabnya tentu hanya satu: edan!

Seperti jagat perpolitikan mutakhir kita dewasa ini. Tidak di Jakarta tidak di Denpasar, hingga Jembrana dan desa – dusun yang ada, akrobatik politik seolah telah menjadi keseharian yang kian hari kian terasa memuakkan. Kenapa memuakkan? Ya, karena hampir semua pelaku politiknya adalah punakawan. Semua Petruk, semua Gareng, semua Sekuni. Semuanya menjadi kaya banyolan. Penuh canda dan tawa. Bahkan hingga Ki Dalang pun ternyata seorang punakawan.

Demikianlah jagat politik gemah rimpah tanpa loh jiwani. Seorang anak singkong sampai punggawa dan dukuh-dukuh, seenaknya saja berubah peran sesuai dengan pakem yang dianutnya sendiri. Jangan pernah merasa heran, kalau kemarin seorang punggawa harus menjadi lawan, esok hari dia akan menjadi sekutu yang paling setia. Yang penting tidak kehilangan tahta kepunggawan. Yang penting tidak kehilangan tongkat kesenapatian. Teman atau lawan dalam pakem perpolitikan di negeri yang subur makmur tetapi miskin ini akan menjadi sebuah keniscayaan. Perilaku politik sudah terlanjur dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Jadi sah-sah saja kalau dalam pergaulan dan pergumulan politik orang akan melakukan langkah yang paling nista.

Bentuk dan perilaku mengamankan diri sendiri sehingga tidak sampai kehilangan kehormatan elit adalah sebuah perilaku biasa-biasa saja. Tanpa ekspresi di akan memasang muka tebal. Meskipun orang-orang di sekitar senantiasa menyebutnya sebagai pemalu yang bermuka tebal. Berbicara tentang tebal muka, pada wilayah kepunakawanan setiap bentuk teater tradisional adalah sebuah keharusan. Anda akan dengan gampang melihat seorang aktor kehilangan muka lantaran dijejali oleh ketebalan bedak yang merubah mukanya menjadi Petruk, menjadi Gareng, menjadi Anjing penjaga yang setia. Jadi jangan pernah bertanya dan percaya kalau seorang punakawan memiliki apa yang disebut harga diri. Karena dia sendiri dengan ketebalan bedaknya sudah harus kehilangan identitas dirinya sendiri. Dan bila harus bercermin, si aktor akan bingung entah itu wajah siapa.

Hari ini seorang anak bangsa harus tersungkur karena sebuah bisikan dan fitnah keji seorang punakawan. Padahal sebelumnya, si punakawan sendiri adalah menjadi tangan paling kanan si tokoh. Teman untuk diajak berbagi cerita sebagai sesama anak bangsa yang dialiri darah biru kepahlawanan, berbagi keuntungan atas bertali-tali emas batangan hingga dinar setelah menjual dan memindah tangankan kekayaan nenek moyang mereka atas mana sebuah pengabdian yang berdasarkan oleh sikap mental kepahlawanan. Toh sebuah sikap mental adalah sesuatu yang laten, si temanpun tampil dan menjelma menjadi musuh yang paling mengancam. Menggunting dalam lipatan demikian buku pintar politik mutakhir menyebutnya. Diapun mengabdi kepada dua majikan. Yang penting selamat!

Siapa berani membantah. Bahwa langkah-langkah taktis untuk mencari selamat adalah merupakan hak yang paling hakiki dari seorang umat manusia? Salah-salah mereka yang berani mengingatkan langkah mencari selamat itu, harus berurusan dengan komisi hak azasi manusia , lantaran dituduh telah melanggar hak azasi seseorang warga negara yang mencari selamat.

Pertanyaannya adalah, di mana letak rasa setia kawan dan sebuah solidaritas sosial? Jagat politik tidak mengenal rasa setia kawan, demikian orang cerdik pandai menjawabnya. Yang ada adalah dalil politik yang bernama kepentingan dan kekuasaan. Lantas apakah karena alasan kepentingan dan kekuasaan kita harus mengorbankan rasa setia kawan kita? Dalam jagat politik jawabannya adalah “ya”. Dan pertanyaan berikutnya adalah, siapakah yang disebut sebagai kita itu? Anda, saya, mereka, atau kami? Sebuah pertanyaan yang muskil untuk dijawab secara jujur. Karena dalam pergaulan politik yang dianut, tidak dikenal lagi kejujuran. Kejujuran dalam lakon politik adalah kejujuran untuk mengamankan diri. Kejujuran untuk tidak kehilangan tahta. Kejujuran untuk menikam seorang karib dan sahabat, bahkan saudara. Untuk sebuah ambisi yang bernama kekuasaan. Demikianlah jagat politik kita berkembang dalam wilayah jelajah iklim yang memancaroba. Sulit untuk membedakan yang mana pahlawan, yang mana pecundang. Yang paling aman adalah memilih laku sebagai punakawan. Tokoh tidak penting dan sampiran dalam lakon-lakon teater tradisional. Tetapi senantiasa ikut menentukan arah cerita. Bahkan mampu mempengaruhi laku budaya seorang pemimpin. Apakah dia seorang raja, presiden, gubernur atau bupati. Bahkan saking piawainya seorang punakawan, dia mampu untuk mempengaruhi Ki Dalang untuk memainkan tokoh dirinya sehingga menjadi pahlawan seperti darah pahlawan yang mengalir pada dirinya. Meskipun dalam budaya kontemporer dewasa ini, sulit membedakan mana pahlawan, mana penghianat. Seperti kenyataan hari ini. Disaat bulan mati. Kelir ditutup. Ki Dalang turun panggung. Yang dikenang penonton ternyata punakawan yang bernama Petruk dan Gareng, Ger!•




Tidak ada komentar: